http://www.friendster.com/photos/82505206/2/591306803

Sabtu, 28 November 2009

Al-Qur'an Diturunkan dengan Tujuh Huruf

Sabtu, 28 November 2009 0


Pada zaman modern ini, sudah seharusnya kita sebagai orang Islam tentunya, untuk selalu bersandar pada kitab Al-Qur’an, yang berfungsi sebagai penuntun seluruh manusia menuju jalan yang diridloi-Nya. Akan tetapi, bersandar tanpa mau memahami tentang esensi kitab suci tersebut merupakan hal yang rasanya merupakan sebuah kekurangan. Dengan demikian, memahami seluk-beluk tentang Al-Qur’an merupakan sebuah kelaziman bahkan keharusan.

Fenomena Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf sudah lama kita dengar. Beberapa interpretasi yang coba dilakukan oleh para ulama’ dan ahli tafsir hingga saat ini sangat beragam. Mulai dari golongan yang berpendapat bahwa yang dimaksud tujuh huruf itu bahasa, dialek, sampai golongan yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf itu adalah macam-macam qira’ah (bacaan), dan masih banyak lagi pendapat-pendapat lain yang tentunya menarik untuk diperbincangkan.



Jumhur Ulama cenderung berpendapat bahwa mushaf rasm 'Utsmani mencakup gambaran tentang "tujuh huruf". Al-Qadhi Abu Bakar bin Thoyyib al-Baqlani membenarkan pendapat tersebut dan mengatakan: "Yang benar ialah bahwa soal ‘tujuh huruf’ itu muncul dan berasal dari Rasulullah Saw, kemudian dicatat oleh para pemimpin umat, lalu dicantumkan oleh ‘Utsman dan para sahabat lainnya di dalam mushaf serta dinyatakan kebenarannya." Akan tetapi kemudian hal itu dihapuskan karena belum dapat dipastikan kemutawatirannaya.

Ada banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, di antaranya adalah lafadz hadits berikut ini:

عن ابن عبّاس رضي الله عنهما أنـّه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: أقرأني جبريل على حرف فراجعته, فلم أزل أستزيده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف. (أخرجه البخاري ومسلم وغيرهما).

Artinya : Dari Ibn Abbas berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf."

Kata "al-ahruf" pada kalimat "al-ahruf as-sab’ah" (tujuh huruf) adalah jamak dari kata harf dalam bahasa Arab. Kata "al-ahruf" dalam hadits-hadits tersebut di atas mempunyai berbagai makna. Kadang-kadang bermakna "qira’at" (bacaan). Ada kalanya juga berarti makna atau arah, sebagaimana dikatakan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Sa’dan an-Nahwi.

Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan istilah tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan: "Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat."

Kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Di sini kami akan kemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.

1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.

Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.

Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Haazin, dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain.

2. Pendapat Kedua
Suatu golongan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab di mana Al-Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih di antara kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.

Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Al-Qur’an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Menurut Abu ‘Ubaid bahwa yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Al-Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin, Yaman dan lain-lain. Ia juga berkata: "sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Al-Qur’an."

3. Pendapat Ketiga
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu:
• Amr (perintah)
• Nahyu (larangan)
• Wa’d (janji)
• Wa’id (ancaman)
• Jadal (perdebatan)
• Qashash (cerita)
• Matsal (perumpamaan).

Adapun hadits yang menjadi dasar dari pendapat ini adalah:
عن ابن مسعود عن النبيّ صلّى الله عليه وسلّم قال: كان الكتاب الأوّل ينـزل من باب واحد، وعلى حرف واحد، ونزل القرآن من سبعة أبواب، على سبعة أحرف: زجر وأمر وحلال وحرام ومحكم ومتشابه وأمثال. (أخرجه الحاكم والبيهقي).

Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: "Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu: zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal."

Masih banyak lagi pendapat-pendapat para ulama tentang Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh bahasa. untuk lebih lengakapnya anda dapat download makalahnya di sini. Atau bagi para Ahlul Ma'had Pesantren Luhur yang kangen dengan suara Abah Kyai Mudhor saat memberikan sambutan seusai halaqoh dengan judul Al-Qur'an diturunkan dengan tujuh bahasa dapat download di sini.

baca selengkapnya di sini...

Jumat, 23 Oktober 2009

Pidana Penyertaan

Jumat, 23 Oktober 2009 0


Jum'at 23 Oktober 2009, halaqoh berjalan seperti biasa dan Alhamdulillah Abah Mudlor hadir untuk membimbing jalannya halaqoh pada pagi hari itu. Pemateri pertama dari mas-mas adalah Mas Abi Sufyan sedangkan pemateri kedua dari mbak-mbak adalah Mbak Solichatul Amalia. Judul yang diberikan oleh Abah untuk halaqoh pada pagi hari ini adalah APA YANG DIMAKSUD PERBUATAN PIDANA PENYERTAAN?

Sebagai contoh, ada sebuah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Budi terhadap Adi, sedangkan Budi membunuh Adi atas perintah dari Dodi. Nah, maka yang disebut dengan Pidana Penyertaan adalah Pidana yang dijatuhkan pada Dodi yang menjadi pihak yang menyuruh untuk membunuh. Dengan kata lain Dodi membunuh Adi secara tidak langsung melalui Budi.

Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang membaginya menjadi dua bagian besar, yaitu :

Pertama, Pasal 55 : Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana. Dader terdiri dari, (1) Pelaku (pleger), yaitu orang yang melakukan sendiri perbuatan pidana tersebut. Yaitu yang mempunyai kemampuan mengakhiri keadaan terlarang (pompe) namun membiarkannya berlangsung; (2) Yang menyuruh melakukan (doen pleger), yaitu orang yang melakukan perbuatan pidana dengan perantaraan orang lain sedang perantaranya tersebut hanya sebagai alat si penyuruh; (3) Yang turut serta (mede pleger), yaitu orang yang ikut campur mengerjakan perbuatan pidana; (4) Penganjur, yaitu orang yang menganjurkan terjadinya perbuatan tersebut, hanya anjuran yang disengaja beserta akibatnya saja yang akan diperhitungkan.

Kedua, Pasal 56 : Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan. Pembantu/medeplichtige terdiri dari: (1) Pembantu pada saat kejahatan dilakukan; (2) Pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

Untuk lebih jelasnya anda bisa download makalah halaqoh aslinya (klik di sini). Dan demi kebaikan dan kemajuan forum "percikan ilmu pengetahuan blog d'majoe" ini kami buka diskusi di kolom komentar di bawah ini. Silakan meninggalkan komentar dan kami akan berusaha memoderatori komentar-komentar yang ada. Terima kasih.

baca selengkapnya di sini...

Rabu, 17 Juni 2009

Mencari Pemimpin, Bukan Mencari Pahlawan

Rabu, 17 Juni 2009 0

Oleh: Riza Multazam Luthfy
Presiden dMajoe Society

Beberapa ahli teori mengembangkan pandangan bahwa kemunculan pemimpin besar adalah hasil dari waktu, tempat dan situasi sesaat. Mumford (1909) menyatakan bahwa pemimpin muncul oleh kemampuan dan keterampilan yang memungkinkan dia memecahkan masalah sosial dalam keadaan tertekan, perubahan dan adaptasi.
Kalau kita hubungkan dengan negara kita, maka konsep di atas memang benar. Situasi Indonesia yang semakin hari semakin terpuruk menyebabkan lahirnya banyak pemimpin. Akan tetapi, kemudian yang menjadi pertanyaan adalah: apakah pemimpin tersebut muncul untuk memecahkan masalah atau bahkan memperkeruh keadaan, dikarenakan masalah yang ada berada diluar logikanya atau sudah terlampau akut?
Apa yang kita lihat saat ini, sepantasnya kita pertanyakan. Mengapa? Di saat pemilihan presiden semakin dekat, beberapa calon presiden berunjuk gigi di depan masyarakat. Kesulitan yang dialami rakyat menjadi perhatian utama demi mencapai popularitas sesaat. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing dengan harapan mendapatkan tempat di hati rakyat. Terlebih lagi, kebolehan itu diperkuat dengan visi-misi yang mereka usung. Dan semuanya mengaku demi kepentingan rakyat.
Cukup sudah kekecewaan kita dengan tipu muslihat para calon legislatif yang sering menggembor-gemborkan janjinya demi kepentingan rakyat. Akan tetapi, ketika mereka sudah menjadi anggota DPR, mereka terlihat seolah tidak pernah menjanjikan apapun bagi rakyat. Rasa kecewa ini bisa terobati, ketika presiden yang terpilih adalah orang yang bisa membuktikan janji-janji yang pernah dia umbar di hadapan rakyat.
Sebagai rakyat yang mendambakan pemimpin sejati, kita tak boleh lengah dan tertipu dengan janji-janji manis yang diucapkan oleh para calon presiden. Kita harus mengetahui track-record para calon presiden tersebut. Pengetahuan mengenai track-record ini sangat penting untuk mengetahui sepak terjang yang telah dilakukan selama ini. Kalau ada calon presiden yang mengaku mengutamakan pendidikan rakyat, apakah sebelum ia menjadi capres pernah berbuat – paling tidak berusaha – mewujudkan pendidikan ala rakyat. Kalau ada yang menjanjikan kesejahteraan ekonomi rakyat, apakah ia pernah berjuang untuk mengentaskan rakyat dari jurang kemiskinan. Kalau ada yang berorientasi pada penegakan hukum, pernahkah ia menjunjung tinggi aspek hukum di negara ini. Jangan-jangan mereka hanya berorientasi merebut hati rakyat. Jangan-jangan mereka hanya melakukannya sewaktu kampanye saja. Sehingga apa yang mereka lakukan tersebut, ditinggalkan begitu saja ketika tidak berhasil menduduki kursi kepresidenan.
Selain itu, kita yang sering mendengar para calon presiden berkoar-koar meneriakkan target yang akan mereka capai, harus lebih arif dan berpikir logis. Kita juga dituntut untuk lebih realistis. Apakah target yang terlalu tinggi akan bisa terwujud di kemudian hari atau hanya akan menjadi isapan jempol belaka. Siapa tahu target yang tidak terlalu muluk malah mempunyai peluang besar terlaksana, sehingga hasilnya bisa dirasakan oleh semua rakyat Indonesia. Bukankah “ayam berkokok pertanda hari kan siang”?

Pemimpin yang berkualitas pengertian
Dalam “The 21 Indispensable Qualities of a Leader” disebutkan bahwa pemimpin besar mempunyai 21 kualitas (Maxwell, 2000). Di antara ke-21 kualitas itu adalah: Pengertian. Ia merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk menemukan akar persoalan, yang tergantung pada intuisi serta nalar. Pengertian merupakan kualitas paling urgen bagi pemimpin manapun yang ingin memaksimalkan keefektifannya. Pengertian akan membantu mengerjakan hal-hal penting, yaitu:
Pertama, menemukan akar persoalan. Pemimpin besar harus bisa mengatasi kekacauan serta kerumitan yang luar biasa setiap harinya. Seorang presiden tak akan mampu mengumpulkan informasi yang cukup untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari segalanya. Sehingga ia harus mengandalkan pengertian. Pengertian memungkinkan seorang presiden melihat sebagian persoalan, melengkapinya secara intuitif, dan menemukan inti persoalannya.
Permasalahan bangsa yang sedemikian rumit, sering kali memperlambat langkah presiden dalam usaha menstabilkan negara. Mengetahui akar permasalahan bangsa merupakan kunci yang harus dimiliki oleh seorang presiden. Menindak tegas dan mengirim para koruptor ke penjara tanpa mengetahui penyebab merajalelanya korupsi di negara ini merupakan langkah yang kurang lengkap. Ketika seorang presiden bisa menggabungkan antara intuisi dan nalarnya, maka bisa dipastikan ia akan menemukan akar persoalan dengan tepat. Sehingga pada akhirnya persoalan bangsa akan segera terselesaikan.
Kedua, meningkatkan kemampuan mengatasi persoalan. Setelah mengetahui persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, maka tidak lantas seorang presiden hanya mempublikasikan akar persoalan tersebut kepada rakyatnya. Kemudian ia duduk manis sambil menikmati pujian dan sanjungan karena berhasil mendeteksi penyakit yang selama ini menggerogoti tubuh bangsa ini. Mengetahui penyakit tanpa mengobatinya adalah suatu kesalahan yang fatal.
Presiden ibarat seorang dokter yang mampu mendeteksi penyakit bangsa sekaligus mengatasinya. Ia harus bisa mengobati penyakit tersebut semaksimal mungkin. Ketika pada sebuah kondisi, pemerintah bisa menimalisir dan menekan angka kemiskinan dengan cara A sehingga angka kemiskinan menjadi turun drastis, maka belum tentu cara tersebut bisa diterapkan pada kondisi dan keadaan yang lain. Ia harus menemukan cara lain yang akan membantu menyelesaikan persoalan kemiskinan. Kondisi dan keadaan yang sering berubah menuntut seorang pemimpin mencari berbagai alternatif untuk memecahkan persoalan yang lebih fariatif.
Ketiga, mengevaluasi pilihan-pilihan yang ada demi dampak maksimal. Seorang presiden yang bisa mendeteksi penyakit bangsa dan mengobatinya secara maksimal masih mempunyai tugas untuk selalu melihat perkembangan kesehatan bangsa itu. Apakah yang ia lakukan selama ini bisa menambah daya vitalitas, atau masih terbelenggu dalam bayang-bayang status quo. Evaluasi kinerja sangat penting, agar kesehatan dan stamina bangsa bisa terus terjaga.
Keempat, melipatgandakan kesempatan. Presiden bukan hanya seorang dokter, tapi dokter pribadi yang selalu memantau perkembangan bangsa. Ketika ia lengah sedikit saja, maka sangat dikhawatirkan penyakit yang pernah ia obati itu kembali menyerang pasiennya. Agar bangsa ini menjadi bangsa yang tahan banting dan siap menghadapi segala rintangan yang ada, seyogyanya seorang presiden senantiasa mencari celah untuk memberikan suplemen dan vitamin yang akan membantu memperkuat daya tubuh bangsa. Selain itu, ia juga harus berjiwa besar. Karena di tengah kesulitan, pasti ada kesempatan (Albert Einstein).
Agar keempat hal penting di atas bisa terlaksana, maka seorang pemimpin tidak boleh memandang remeh kualitas pengertian. Kualitas ini akan menjadikan presiden sebagai pemimpin besar yang membebaskan rakyatnya dari jurang penderitaan serta mengantarkannya pada puncak kesejahteraan.

Yang pahlawan atau yang pengertian?
Kualitas pengertian yang telah dimiliki pemimpin tidak boleh dikotori dengan kualitas kepahlawanan. Yang tersebut terakhir hanya akan menjadi virus penghambat bagi keberhasilan sang pemimpin. Kualitas pengertian mendambakan ketulusan, bukan kepongahan yang mengharapkan timbal-balik. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bersikap tulus dan tidak ingin dianggap sebagai pahlawan.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, maka tipologi pemimpin – ditinjau dari kualitasnya – bisa dikategorikan menjadi 4 macam, yaitu:
Pertama, pahlawan yang pengertian. Serumit apapun persoalan yang dihadapi rakyat, ia sanggup menemukan penyebab utama yang mendasari persoalan tersebut. Akan tetapi yang tidak disukai dari dirinya adalah prinsip yang menganggap bahwa tak ada barang gratis di dunia ini. Apa yang dilakukan harus mendapat imbalan. Teori balas jasa menjadi prioritas utama bagi pemimpin yang bertipologi seperti ini.
Kedua, pahlawan yang tidak pengertian. Pemimpin seperti ini selalu berusaha menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh rakyat. Akan tetapi apa yang dilakukannya tidak pernah menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh rakyat, sehingga dampak yang dirasakanpun hanya bersifat sementara. Selain itu, ia juga tak ingin usahanya sia-sia. Penghargaan dari rakyat sangat ia harapkan.
Ketiga, tidak pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Ia sangat disukai oleh rakyatnya. Pekerjaannya tulus dalam rangka pengabdian kepada rakyat. Pemimpin bertipologi seperti ini tidak menginginkan balasan apapun. Ia berkuasa demi dan hanya untuk rakyat. Ia berpendirian bahwa pemimpin adalah pelayan rakyat. Akan tetapi yang sangat disayangkan yaitu usahanya yang tak pernah menyentuh inti persoalan.
Keempat, pengertian dan tidak berjiwa pahlawan. Pemimpin seperti inilah yang sangat jarang kita temukan. Selain tidak memikirkan imbalan, ia juga bisa menemukan inti permasalahan yang sedang dihadapi oleh rakyat.
Dari keempat tipologi di atas, yang tersebut terakhir inilah yang sangat dinanti-natikan oleh rakyat. Kita semua rindu dengan pemimpin yang berkualitas pengertian dan mengesampingkan kepahlawanan. Mulai sekarang kita bisa menentukan mana calon presiden yang berorientasi sementara (short time) dan mana yang mempunyai pandangan jauh ke depan sehingga dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang (long time).
Sudah tidak saatnya, rakyat menunjuk pahlawan sebagai presiden. Betapapun hebatnya pahlawan itu, toh ternyata identitas kepahlawanan yang terlanjur disematkan padanya tak bisa dibuktikan ketika ia menjabat sebagai presiden. Presiden adalah seorang pemimpin yang akan memegang kendali bangsa ini selama 5 tahun. Maka tak selayaknya jabatan itu diserahkan kepada pahlawan instan yang tak berkualitas pengertian.

baca selengkapnya di sini...
 
all about d'majoe ◄blog ini dikelola oleh menteri komunikasi dan informasi d'Majoe Society dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden d'Majoe Society. Desain blog oleh : Pocket, BlogBulk Blogger Templates