http://www.friendster.com/photos/82505206/2/591306803

Jumat, 29 Mei 2009

Jumat, 29 Mei 2009 0

KONSTELASI PEMIKIRAN DALAM MEMBENTUK IDENTITAS SANTRI

Oleh: Riza Multazam Luthfy

Pengetahuan Agama Yes, Pengetahuan Umum No

Ada fakta menarik yang menyebutkan bahwa terdapat sebagian kelompok masyarakat yang masih antipati terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terlebih lagi pengetahuan umum. Mereka menganggap bahwa pengetahuan umum itu sesuatu yang tidak penting, tidak bermanfaat, dan menyesatkan bagi kehidupan manusia. Yang lebih memprihatinkan lagi, bahwa orang-orang tersebut bukan berasal dari orang-orang yang tak kenal dengan pengetahuan, tetapi berasal dari

kelompok yang akrab dan selalu berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan itu sendiri.

Kelompok itu berasal dari barisan para kiyai dan santri. Pernah suatu ketika, salah satu pesantren mengadakan seminar internasional. Dalam pidato pembukaan, sang kiyai menyebutkan bahwa presiden Amerika saat ini adalah George W. Bush. Serentak para santri dan peserta yang hadir tertawa terbahak-bahak. Kemudian sang kiyai –tanpa rasa bersalah sedikitpun– bertanya mengapa mereka menertawakan pembicaraannya itu. Para santri menjawab bahwa presiden Amerika sekarang adalah Barack Obama, yang baru saja dilantik. Bukan George W. Bush, seperti yang dilontarkan oleh kiyainya itu. Lantas para santri ditanya dari mana mereka memperoleh informasi tersebut. Para santri serentak mengaku kalau informasi tersebut diperoleh dari koran yang mereka baca. Sang kiyai bukannya percaya, malah melarang para santri untuk membaca koran yang dinilai sebagai sarana pengobral berita yang tidak patut dibaca dan harus dihindari. Para santri harus berpedoman hanya pada al-Qur'an, as-Sunnah, dan sumber-sumber agama yang lain yang lebih relevan. Tidak pada koran, yang dinilai penuh tipu daya dan muslihat.

Menarik memang, kalau kita melihat corak pandang kiyai di atas. Kalau dilihat dari satu sisi, pernyataannya bisa dibenarkan. Tapi kalau ditinjau dengan pemikiran kritis, logis, dan menyeluruh, maka alasan kiyai melarang santrinya membaca koran itu harus dipertanyakan. Benar, karena mungkin suatu ketika kiyai tersebut pernah membaca koran yang isinya memang hanya gosip murahan dan tidak layak menjadi konsumsi para santri. Karena hal itu lebih banyak mudharat (bahaya) daripada manfaatnya. Perlu dipertanyakan, sebab, ia menilai bahwa koran itu semuanya sama. Tak ada yang benar. Membaca koran dianggapnya sebagai laghw (kesia-siaan). Karena pandangannya yang sempit inilah, maka kesimpulan kiyai tersebut kurang benar dan harus diluruskan.

Di Indonesia, masih banyak para kiyai yang menyerukan para santrinya untuk menjunjung tinggi pengetahuan agama dan menolak mentah-mentah semua pengetahuan umum. Pengetahuan umum dianggap sebagai barang duniawi yang harus dihindari, karena tidak ada sangkut pautnya dengan agama dan dapat menghalangi manusia mencapai kebahagiaan di akhirat kelak. Sedangkan pengetahuan agama adalah mutiara kehidupan yang akan menuntun manusia menuju ridla Tuhan. Sehingga, mengikuti halaqah, pengajian, bahtsul masail, dialog keagamaan, lebih mereka minati daripada seminar, diskusi panel, dan forum-forum lain yang membicarakan pengetahuan umum dan problematika kontemporer. Mereka menilai bahwa pengetahuan agama lebih bermanfaat daripada pengetahuan umum. Sehingga, kata 'al-ilm' pada redaksi hadits Nabi SAW. yang berbunyi: "Thalabu al-ilmi faridhotun 'alaa kulli muslimin wa muslimatin", lebih berpretensi pada pengetahuan agama saja.

Pengetahuan umum sebenarnya tidak bertolak belakang dengan pengetahuan agama, malah saling terkait. Hal inilah yang harus diketahui oleh para santri sekarang. Paradigma para santri yang mengecap hitam pengetahuan umum dan menganggap hanya pengetahuan agama yang boleh dipelajari harus dirubah. Terus, bagaimana dengan pengetahuan yang jelas-jelas menyimpang dari koridor Islam?. Di sinilah, para santri dituntut untuk bersikap kritis. Mereka harus bisa menyaring mana pengetahuan yang sesuai dengan syari'at Islam dan mana yang tidak. Toh, pengetahuan yang tidak sesuai dengan syari'at itu pun sebenarnya masih bisa dimanfaatkan dan diambil segi positifnya.

Dalam melihat realita yang terjadi, prinsip "almuhaafadhotu 'ala al-qadiimi as-shaalih, wa al-akhdzu bi al-jadiidi al-aslah" sepertinya harus dikumandangkan lebih keras.

Pesantren Salaf Vs Pesantren Khalaf

Meminjam apa yang dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa yang dimaksud dengan pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan.

Sedangkan pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum.

Berdasarkan pengamatan, penulis melihat bahwa kedua macam pesantren tersebut seringkali terjebak dalam klaim kebenaran. Pesantren salaf mengaku bahwa dengan mengajarkan pengetahuan yang berasal dari kitab-kitab Islam klasik dan mengabaikan pengetahuan lainnya, berarti sudah melakukan langkah paling urgen dalam mempertahankan Islam. Agama Islam dijaga sebaik-baiknya, jangan sampai terkontaminasi dengan hal-hal lain yang berpotensi merobohkan Islam. Sehingga mereka lebih percaya kepada kitab-kitab klasik yang dikarang oleh para ulama tradisional, dari pada buku-buku karangan profesor dan sarjana. Pesantren ini mempunyai keyakinan bahwa mempertahankan ajaran Islam lebih bermanfaat daripada mengikuti trend pemikiran-pemikiran modern yang tidak karuan jeluntrungnya. Karena corak pemikiran seperti inilah, pesantren ini sering disebut sebagai kelompok "isolasionis", "konservatif", kuno, dan lain-lain.

Adapun pesantren khalaf (modern) yang sedikit banyak mengajarkan pengetahuan-pengetahuan umum melihat bahwa mereka adalah lembaga pendidikan paling ideal bagi para santri. Pesantren ini mampu memenuhi panggilan zaman. Selain pengetahuan agama, para santri juga diajarkan komputer, bahasa inggris, olahraga, musik, dan pengetahuan umum yang lain. Dengan demikian, para santri dipersiapkan menjadi manusia yang siap guna dalam menghadapi masyarakatnya.

Tentunya pemikiran pesantren khalaf –yang mewakili kaum modern– lebih terbuka dari pada pesantren salaf, yang dianggap sebagai kaum tradisional. Dalam masalah penerapan hukum pun, terlihat bahwa pesantren khalaf lebih adaptif dan rasional. Lebih jauh lagi, pesantren khalaf berani melakukan interpretasi ulang atas apa yang pernah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Hal ini sangat jauh berbeda dengan pesantren salaf yang terlalu berhati-hati, sehingga tidak mau mengutak-atik hasil interpretasi para salafus shalih.

Hal tersebut di atas itulah penyebab timbulnya pergolakan panjang yang terjadi antara elemen-elemen kedua pesantren tersebut. Sudah tidak zamannya lagi para kiyai dan santri kedua pesantren saling menjatuhkan, bahkan memvonis bahwa salah satu dari mereka adalah kelompok yang paling benar. Dan sudah seyogyanya, pergolakan ini segera diakhiri. Mereka harus saling merangkul dan bergandeng tangan untuk mewujudkan umat yang rahmatan li al-'aalamiin.

Mengusung Kurikulum Perguruan Tinggi

Pesantren yang pernah menjadi ikon perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah, harus berani melakukan perubahan yang berarti. Perubahan yang utama dan paling utama adalah perubahan sistem pendidikan. Karena, pada dasarnya sistem pendidikan mempunyai pengaruh yang luar biasa dalam mengarahkan pandangan santri terhadap kehidupan. Baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kiyai, sebagai tokoh sentral dalam roda perjalanan pesantren (baik pesantren salaf maupun khalaf) harus diajak duduk bersama guna membahas agenda pesantren ke depan. Dalam masalah ini, tidak ada lagi dikotomi antara kedua tipe pesantren tersebut. Mereka harus menyatukan satu misi, yaitu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dan untuk mengimplementasikan tujuan itu, diperlukan usaha yang keras dan kerjasama antara semua elemen pendidikan. Di antara usaha yang bisa dilakukan adalah mengkonversikan kurikulum yang ada di pesantren salaf, khalaf dan Perguruan Tinggi. Beberapa pelajaran, seperti: filsafat, Sejarah Peradaban Islam, Civic Education, Ilmu Budaya Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Statistik, harus dipelajari oleh para santri. Hal ini dikarenakan, pada zaman modern seperti ini, pesantren tidak hanya dituntut untuk menyiapkan generasi-generasi militan yang dapat memperkuat barisan Islam, tetapi juga melahirkan kaum-kaum intelektual yang nantinya berada di garda paling depan bangsa Indonesia.

Penyajian ketiga kurikulum (pesantren salaf, khalaf, dan Perguruan Tinggi) kepada para santri, diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif dalam rangka membentuk pribadi-pribadi Islam yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, serta menjadi bagian integral dari kaum intelektual yang selalu mengikuti perkembangan zaman. Dengan demikian, para santri tidak hanya berkutat pada pengkajian kitab-kitab klasik yang berorientasikan Islam, tetapi juga ikut bergelut dengan pemikiran-pemikiran kontemporer yang merebak di negara Indonesia, bahkan dunia internasional. Ini bukan berarti, para santri lebih mengutamakan pengetahuan umum dari pada pengetahuan agama. Keduanya harus diseimbangkan, demi mencapai pengetahuan yang seutuhnya dan membangun insan paripurna.

Sosialisasi Misi Depdiknas 2005 – 2009

Dalam rangka membangun pendidikan Indonesia yang lebih berkualitas, Departemen Pendidikan Nasional mempunyai misi: "Mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif."

Misi yang diusung oleh Depdiknas tersebut di atas, mulai sekarang harus disosialisasikan ke semua pesantren di seluruh Indonesia. Dalam hal ini harus ada kerjasama antara pihak pemerintah dengan pesantren. Seringkali para kiyai dan santrinya tidak mengetahui program-program yang sedang dicanangkan oleh pemerintah. Begitu pula sebaliknya, pemerintah tidak ingin tahu menahu tentang permasalahan yang dihadapi oleh pesantren. Padahal, apabila terdapat hubungan yang harmonis antara keduanya, maka sudah dapat dipastikan, Indonesia sebagai baldatun thayyibatun akan semakin mudah untuk diwujudkan.

Dengan adanya sosialisasi tersebut, pada perkembangannya akan memotivasi pesantren untuk mencetak kader-kader bangsa yang mempunyai visi ke depan. Pesantren juga akan bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain dalam melahirkan pemimpin-pemimpin yang berwawasan luas dan siap mengabdi kepada masyarakat. Selain itu, hal tersebut merupakan upaya dalam meminimalisir adanya indikasi yang menyatakan bahwa Perguruan Tinggi lebih kompatibel dan diminati oleh masyarakat Indonesia, karena sampai saat ini, mereka menganggap bahwa lulusan pesantren tidak mampu mengimbangi lulusan perguruan tinggi dalam hal pengetahuan umum dan kontemporer.

Santri dan Politik Praktis

Sebagian para kiyai berkeyakinan bahwa Islam itu bersih. Sedangkan politik itu kotor. Maka jangan sampai agama yang sudah bersih itu dikotori dan dicemari oleh politik. Pemikiran ini yang mendasari mereka untuk menjauh dari partai politik dan tidak tahu menahu tentang perkembangan politik di Indonesia. Sebenarnya pemikiran ini harus diluruskan. Kita boleh mengatakan, bahwa memang agama itu bersih. Sedangkan politik itu kotor. Tetapi, apa tidak bisa politik yang kotor itu dibersihkan oleh agama? Dengan demikian, politik bisa diterima oleh semua kalangan, terlebih lagi orang Islam.

Pemikiran yang berdasar pada sikap zuhud (bertapa dunia) terkadang juga menjadi penghalang utama para santri untuk ikut terjun dalam dunia politik. Dunia politik tak ubahnya sebagai sarana pencapai kekuasaan, yang tak jarang menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan tersebut. Akhirnya, mereka memilih menghindar dari arena politik dan memilih kehidupan religius yang mereka anggap sebagai jalan menuju kebahagiaan sejati.

Pada saat ini, santri harus ikut terjun dalam arena politik. Santri tidak boleh membelenggu diri dan menutup mata, seolah tidak tahu permasalahan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Belum lagi ditambah banyaknya partai politik yang telah keluar dari jalur. Ini dapat dilihat di antaranya dengan lahirnya partai-partai politik yang mengatasnamakan rakyat, tetapi sesungguhnya tidak berpihak pada rakyat. Partai-partai tersebut sebenarnya hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan.

Kalau kita telisik lebih dalam, sebenarnya menjauhnya para santri dari dunia perpolitikan malah akan menimbulkan kecurigaan: apakah mereka rela bangsa ini dipimpin oleh pemimpin yang seharusnya tidak layak menjadi pemimpin?. Atau apakah dengan hanya mempelajari ilmu pengetahuan –tanpa mau berpolitik– santri bisa melakukan amar ma'ruf nahi munkar?

Oleh sebab itu, bukan hal yang tabu lagi ketika para santri sekarang mulai belajar berpolitik dan ikut meramaikan gaung perpolitikan di Indonesia. Para kiyai harus mengajarkan santrinya ilmu berpolitik. Dan pastinya, kiyai juga bertugas mengarahkan santrinya bagaimana politik yang bersih, menjunjung tinggi kejujuran, serta ditujukan untuk menegakkan agama Allah (li i'laai kalimaatillaah).

Dengan terjunnya para santri ke dalam kancah perpolitikan, diharapkan muncul sosok-sosok pemimpin yang telah lama dirindukan oleh masyarakat. Yaitu pemimpin yang berwawasan luas, intelek, agamis, memperhatikan nasib rakyat, serta bisa merangkul semua golongan. Sehingga para pemimpin yang muncul dari kaum santri adalah mereka yang mempunyai integritas intelektual, sosial dan religius. Aamiin…..


baca selengkapnya di sini...
 
all about d'majoe ◄blog ini dikelola oleh menteri komunikasi dan informasi d'Majoe Society dan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Presiden d'Majoe Society. Desain blog oleh : Pocket, BlogBulk Blogger Templates