PUISI-PUISI RIZA MULTAZAM LUTHFY
AIR MATA PERKASA
peras air matamu
di gelas kalbu
kan ku reguk
hingga tak ada
dahaga cinta
simpan air matamu
di tabut nafsu
kan ku kunci
hingga tak ada risau
dalam sanubari
kenang air mataku
hingga jiwamu
tak lagi liar
seperti malam
kehilangan rembulan
Malang, 18 Oktober 2008
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 7 Desember 2008)
ZIKIR CINTA
dengus nafasmu
berzikir:
C
I
N
T
A
……33X
Malang, 18 Oktober 2008
ARTI SEBUAH NAMA
tulis namamu
di nisanku
agar ku bisa
kenang
tiap terang
atau:
sampai waktu
tak mau jadi
belenggu
ukir namaku
di batu karang
karena ia
kan termangu
atau hilang
dari bayang senja
Malang, 18 Oktober 2008
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 15 Pebruari 2009)
SENANDUNG LAGU IBU
ingin ku rapikan
guratan kusut
di wajahmu yang lembut
ingin ku semir
rambutmu
– agar tak terlihat putihnya
ingin ku bersihkan
tanganmu
dari debu nestapa
ingin ku wangikan
tubuhmu
– agar terlihat pesona
ingin ku usap
matamu yang basah kuyup
– karena ulahku
Malang, 18 Oktober 2008
SAJAK ORANG PAS-PASAN
bang, sekarang sudah musim penghujan. ku tak mau keluarga kita sakit-sakitan. kata pak RT, orang kayak kita tak boleh kena demam, influenza, sesak napas, apalagi jantungan. kalau sakit, pilih masuk angin ya. nanti ku kerok pakai bawang. biar punggungmu juga bisa luluran. kalau habis ronda pilih pegal-pegal saja. jangan yang lainnya. biar nanti dipijit suminah. kalau kurang terasa, di injak kan malah lebih mantap. jayus, gimin dan parno selalu siap kok jadi algojonya.
bang, mulai hari ini kau harus sering latihan. ajak juga anak-anak. agar mereka bisa berteman dengan alam. kalau ku, siap-siapnya sudah dua bulan. hitung-hitung pemanasan. kalau tak mau selera makanmu hilang, jangan sampai penyakit jadi biang. kalau perlu baca mantra mbah rojan. atau wirid pak lukman.
bang, syukurlah hari ini anak-anak sudah makan. moga saja mereka bisa kenyang. ku sudah buat jadwal kok, biar tak bosan. satu hari pakai sambal. dua hari pakai garam. akhir bulan kita bisa pesta besar. makan pakai kentang atau terong bakar. tapi sayang, biar begitu tetap saja mereka cacingan.
bang, kita ini orang pas-pasan. pagi jual rongsokan. sore cari sisa makanan. tapi, ku heran…! ternyata banyak juga orang kaya makan sisa. kalau kita dapat sisa dari sampah tetangga. kalau mereka malah bisa sepuasnya: dari sisa bangun jalan, sisa bangun jembatan, sisa bangun sekolah. dan yang paling parah: sisa bangun mushalla.
ah, biarkan arus kehidupan ini berjalan apa adanya. tugas kita hanya berdoa: moga mereka tak punya lagi hobi sama dengan kita. sama-sama makan sisa…..! benar kan bang ??
Bojonegoro, 28 Oktober 2008
HANYA PENYAKIT
aku ini hanya penyakit. hinggap pada sembarang tempat: kering, basah, lembab dan terik. singgahku bisa di hati, usus, lambung, jantung, tulang, gigi atau kulit. tak perduli siapa mereka: pejabat, polisi, kiyai, koruptor atau tukang pijit. semuanya ku serang. ya, memang tugasku membuat berang semua orang. dan engkau si sakit. hanya menerawang ke wajah lelangit. berharap ajaib turun menjenguk dan menyembuhkanmu.
wahai para dokter ! jauhkan aku dari jarum suntik. singkirkan aku dari racun pembunuh. ingin ku nikmati hidup yang serba rumit. ku iri dengan nasib si obat. ia dipuja bagai penyelamat. sedangkan aku, mereka anggap sebagai adzab, bahkan laknat.
ya, aku ini hanya penyakit. tak bisa pilih lainnya. andai saja bisa, ku ingin jadi si sakit. sebab, ia lebih leluasa: bisa berobat dan bisa berpenyakit.
Bojonegoro, 31 Oktober 2008
KESAKSIAN RANJANG TUA
di atas ranjang tua ini
aku ditimang
dengan keperkasaan ayah, bunda
di atas ranjang tua ini
aku dibesarkan
untuk memikul beban
di pundaknya
di atas ranjang tua ini
aku gantungkan asa
anak-istri tercinta
di atas ranjang tua ini
aku rebahkan badan
sebelum kembali kerja
di atas ranjang tua ini
aku rajut benang sutra
yang telah lama ku genggam
di atas ranjang tua ini
aku bariskan uban-uban
yang lepas dari sangkar
di atas ranjang tua ini
aku pejamkan mata
untuk bisa bersua denganNya
Bojonegoro, 31 Oktober 2008
PENJAHIT ITU
kaukah penjahit itu?
orang yang telah merusak
baju dan celanaku
kaukah penjahit itu?
orang yang tega mengoyak
kebanggaanku
kaukah penjahit itu?
orang yang permak
coklat jadi hitam
padahal, itu warna kesukaanku
memang, aku penjahit itu!
yang sadar menyalahi
keinginanmu
ya, akulah penjahit itu!
yang suka merubah
kesukaanmu
sungguh, aku penjahit itu!
tapi, harus kau ingat
bahwa ku hanya berniat
rubah gaya dan tingkah lakumu
terima kasih, penjahit!
kau telah rubah segalanya
untukku
Bojonegoro, 31 Oktober 2008
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 7 Desember 2008)
KOPI LUAR BIASA!
segelas kopi malam ini. ungkapan kasih dari sang istri. yang tak lupa dengan janji pagi. hangatnya menembus imaji. aromanya mengelus sanubari. memang rasanya tak bisa dibagi. walau dengan cahaya mentari.
pagi itu, kau minta uang untuk beli bubuk kopi dan gula. segera ku tunjukkan di saku celana bagian depan. di dompetnya, ada foto dua insan saling berkencan. ya, itu foto kita bersama saat masih muda. satu kenangan manis ketika remaja lugu berbicara tentang cinta. ku cium keningmu dan ku rangkul dengan mesranya. ku dekatkan bibirku ke telinga kirimu. lalu kubisikkan kata-kata sastra. layaknya seorang pujangga terkenal. kau terlihat bahagia. hatimu merekah bak bunga matahari yang baru saja keluar dari peraduannya. indah, sungguh indah. suatu masa yang diselimuti seribu tanya: apa arti kesetiaan?. apa makna pengorbanan?.
tanpa pikir panjang, kau ambil foto itu lalu pergi ke toko milik tetangga. kau bilang: beli bubuk cinta dan gula sayang!. sejenak mereka tertawa melihat ulahmu yang tampak kebingungan. kau masih saja terbayang dengan rayuan gombal yang pernah ku ucapkan. wajahmu merah padam. kau coba tutup malumu dan mencoba lagi untuk kedua kalinya: beli bubuk cinta dan gula sayang!. merekapun heran bercampur tanya: ada apa gerangan?. tapi, suasana jualah yang membuat mereka harus menyerah dan sadar bahwa kau menginginkan bubuk kopi dan gula.
sesampai di rumah, kau simpan bubuk gula dan kopi itu di rak dapurmu. tepat jam dua belas malam, kau hidangkan kopi itu di meja kamarku. diiringi musik nostalgia, foto itu kau pajang di sebelahnya. ku pandangi foto itu. lalu ku bandingkan dengan yang aslinya. ternyata, aku sudah jauh berbeda. begitu pula dengan dirimu. cantiknya tak sama dengan yang dulu.
ku minum kopi itu seteguk demi seteguk. nikmat, begitu nikmat. kentalnya menyumbat luka. manisnya membuat lidahku tak berrasa. tanpa sadar, ku ulangi adegan persis di foto itu. ku kecup keningmu seribu sayang. ku rangkul pundakmu dengan mesra dan ku lantunkan sebuah syair dadakan: "apa arti kesetiaan, apa makna pengorbanan?". kaupun tersentak dan berbisik lirih: "memang, ini kopi luar biasa!".
Bojonegoro, 1 November 2008
GADIS CENTIL DAN TEMBANG KENANGAN
tembang kenangan lirih terdengar
dinyanyikan pengamen jalanan
ketika pengamen itu
tepat didepan mata
langsung ku teringat denganmu
gadis centil yang sempat
membuat hati
berdecak kagum
ku tirukan suara itu
dan ia
semakin keras
menyanyikan tembang kenangan
semakin keras
ia bernyanyi
semain banyak
yang ku berikan
ku bertanya dalam hati:
"ia bernyanyi,
untuk menghibur
atau mendapatkan uang?"
barangkali,
ia bernyanyi hanya untuk uang
bukan untuk hiburan
tapi, ku berterima kasih
kepada pengamen itu
karena lewat tembangnya
otakku bisa mengurai wajah
gadis centil
yang sepuluh tahun
tak ku lihat
wahai, pengamen jalanan
tolong sekali lagi
kau nyanyikan tembangmu
semakin keras
kau bernyanyi
semakin banyak
yang ku berikan!
o, pengamen jalanan
tolong sekali lagi
kau nyanyikan tembang kenangan
agar ku bisa mengingatnya
lebih lama
gadis centil yang sempat
membuat hati
berdecak kagum
Bojonegoro, 1 November 2008
JEALOUS
meski
tak lagi bersama,
tak kan
ku biarkan
kau rengkuh kesempurnaan
di dinding kalbunya
Bojonegoro, 1 November 2008
- pernah dikirim ke harian "Sindo"
- pernah dikirim ke harian "Tempo"
- pernah dikirim ke majalah "Cerita Kita"
JANGAN KAU JATUH
helai daun jatuh
di depan rumah
tanda musim gugur datang menyapa
tahan!
tak usah kau jatuh
jangan pikirkan musim
yang memaksamu tunduk
biar kami yang rasakan
apa arti lumpuh
ranting pohon ikut jatuh
tanda buah keterpurukan
tahan!
jangan kau nurut
pada kuasa yang pemaksa
kami saja yang lalui
bagaimana rasa murka
kami ingin tak ada yang jatuh
walau tubuh sering runtuh
kami ingin kau berontak
agar mereka jarang bersorak!
Bojonegoro, 1 November 2008
SARUNG BERSEJARAH
sarung ini sarung bersejarah
saat bapak melawan penjajah
ada tetes darah
ada bercak nanah
semua padu dalam resah
bila tak punya uang
jangan kau gadaikan
bila tak punya tenar
jangan kau obral
karena ia sarung bersejarah
sebuah saksi
bagi kami
pahlawan sejati
di pundak kami
tak ada bintang
di atas kami
tak ada terang
hanya sarung ini
yang jadi bukti
bahwa kami
pahlawan sejati
Bojonegoro, 2 November 2008
JANGAN PERCAYA PADANYA
apa kabar puisi?
kenapa kau termangu di situ
sepi, sendiri
apakah sedang berpikir
tentang kata
yang menyusun kerangkamu?
kata tak seperti yang kau duga
ia bisa menyelinap
dan membunuhmu
kapan saja
hati-hati dengannya
ia musuh bermuka seram
ia racun dalam tubuhmu
bagaimana puisi?
percayakah kini kau dengan kata?
kalau masih ragu
taruh pisau tajam
di saku celana
usik dia
ancam, jika berlaku kurang sopan
ingat, kau adalah
sang majikan
bukan pembantunya
Bojonegoro, 2 November 2008
GENAP 70 TAHUN
di usiaku yang genap 70 tahun ini. ku makin mesra dengan senar dawai. berharap datang rejeki. sekadar cari sesuap nasi. atau secangkir kopi.
di usiaku yang senja. ku tak harap angankan cita. juga tak rela kekalkan asa: jadi bos kaya atau seorang kakek yang setiap hari bisa menggendong cucunya. tak banyak yang ku minta. sedikit sisa dan secuil tawa. agar perut tak lagi berirama.
di usiaku yang mulai rapuh. ku tak mau banyak mengeluh. beruntung mampu mengusap peluh atau mengubur keruh. suaraku cacat berriuh. kini tak lagi angkuh. ku ingin bersimpuh. padaNya sang pembuat lumpuh.
Surabaya – Malang, 4 November 2008
SINAR LAMPU GASPION VS SINARMU
tiap sunyi, ku pandangi lampu gaspion di pojok desa. tanpa terasa, hatipun terhenyak. ternyata, sinarnya tak mampu tandingi sinarmu yang begitu pukau. bila dekat dengan sinar lampu itu. ada pejam di mata dan aorta. sebab ia menyerap kalor semua yang taruh persepsi. makin banyak perhatian. makin besar kalor tersimpan. besar pula rasa kecewa dan gersang. itulah pembuat beda sinar lampu itu dengan sinarmu yang tak mengandung panas secuilpun. malahan membawa sejuk dan tenang.
taruh semangkuk sinarmu di meja makan. agar jiwaku yang hampa punya nutrisi. pun ia bahagia. walau hanya dalam dunia profan. puing mimpiku butuh sinarmu. untuk mewujud dirinya dalam nyata. jangan biarkan ia tergoda oleh penjahat waktu yang selalu membawa pedang tajam. kalau tak siaga. bisa-bisa lehermu juga jadi korban. eluskan sinarmu pada luka lama. biarkan ia bertahan di sana. ah, ku tak rela sinar lampu itu yang jadi jegal. sinarmu membawa madu cinta. sedang sinar lampu itu merangkum racun nista.
entah kenapa lampu gaspion itu. terangnya tak bawa niscaya. tapi gamang dan keraguan. apa ada yang salah ?. walaupun sudah seribu upaya. masih saja ku alergi. adapun sinarmu; ia sinar yang bisa hapus tiap gelisah. memang aura jiwaku lebih suka dengan sinarmu daripada sinar lampu gaspion. bila bersedia, baiknya kita nikahkan saja keduanya. agar sinarmu yang penuh terang bisa berpendar pada relung jiwaku. hingga ia tak lagi takut pada gelap malam juga rona hitam. karena kemanapun ia berkelana. tentu sinarmu yang menjadi penjaganya.
Malang, 8 November 2008
TANGAN PERAWAN DESA
dari tangan dinginmu ia temukan arti sentuh. tak kenal genggam, tampar atau secuil hardik. dengan elus jarimu ia nikmati hati kekasih. tak tahu lawan bahkan pecundang. ia menyusuri garis telapakmu. berharap tak jadi sesat. sebab banyak jalan yang kini tak lagi lurus. tak lagi terang, seterang sinar yang dipancarkan urat nadimu. biar di sana ia temukan penjual bakso atau mie pangsit untuk menyumpal bibir lambungnya yang berteriak liar. atau malah bertemu perampok jalanan yang niat merampas bekal dari ibunya.
semua orang terbelalak, karena siapa saja yang ia temui, pasti kan diberi selembar kain putih untuk mengingat perawan desa yang meninggal karena dimutilasi tetangganya. tangannya dipotong lalu dibuang di pematang sawah. tangan yang simbah darah kasih. tangan dingin tulus sentuh. dua batang tangan yang ku temukan kemarin petang. lalu ku berikan pada orang yang membutuhkan sayang. karena tak sepotong sayangpun ia peroleh dari ayahnya. ya, ku hanya berdoa agar ia temukan harapan dan arti cinta di dunia yang serba merah. dunia yang penuh darah.
Malang, 27 November 2008
MATA YANG PENUH AIR
kemarin, ku selami matamu yang penuh air. di sana ku lihat beribu-ribu bidadari bermata biru seperti warna samudra yang menyimpan auramu. tubuh mereka bertabur wangi, sebab mandi dan luluran dengan air itu. wajah penuh rona membisiki kalbu tuk diam semu. ku tahu tubuh bidadari itu tak semulya milikmu.
tiba-tiba datang seorang renta menawarkan perahu cadik. ku sewa perahu itu dengan sebongkah senyummu menuju seberang lautan. ku dayung perahu yang bentuknya tak bisa ku lukis. karena ku tahu: perahu itu tak berbentuk, tak berrupa.
di sayup matamu, terlihat genangan air meronta seakan tak mampu lagi melihat dunia. bungkamanku tak mampu buatnya tenang. malah makin keras. hingga tak ada lagi telinga yang mampu menangkap suaranya. ia menangis bukan ulahku, tapi karena tak punya sapu tangan tuk mengusap perih. juga kekasih yang tak mau mengusap peluh.
sekarang, ku sadar bahwa matamu tak lagi berair. ia tlah berrujuk pada fitrah. seonggok genangan berbenah kristal cinta. wah….. ku makin krasan saja tinggal di sana. tak mau pulang. ingin ku jajaki seribu wisata sampai relung terdalam. hingga tak temukan perih, juga peluh. ku tak berani temui orang tua yang meminjamkan cadik. karena ku yakin, ia lebih bahagia bersama sang istri dan anak-anaknya .
setelah temukan kerang di lubuk hati matamu, kan ku simpan hingga jiwaku berubah warna. ingat slalu ! bahwa bahagiaku muncul di seluruh air matamu.
Malang, 28 November 2008
CUKUP HIJAUMU
di bibir hijaumu kami temukan arti rindu. di senyum hijaumu kami dapatkan makna cemburu. memang, hijau auramu slalu turunkan salju cinta. hijau jiwamu kalahkan birahi kalbu.
kami ingin berpulang ke belai basahmu. karena basahmu damaikan kering kerontang. basah yang membawa seribu hijau. kami tak tahu, apakah waktu sedang berjalan atau mampir di warung rembulan. kami tak ingin lihat sang waktu. karena bagi kami, ia selalu terlihat hitam. tak pernah tampak hijau. bila kau lupa bawa sinarmu yang hijau. ambil sinar bintang yang sedang tampakkan wajah berbinar. jangan yang biru, tapi yang hijau saja. kami ingin kau basuh wajah dan tubuh kami dengan elus jarimu. ya, jemarimu yang hijau lembut. kami berangan agar kau tak cepat menghilang. elus rambut kami. tidurkan dalam hangat ranjangmu yang hijau selimutnya.
tak usah kau rayu kami dengan merah, kuning, biru, atau kelabu. itu warna duniamu. kami tak suka dibawa ke sana. karena di sana tak ada cinta. tak ada hijau. bagi kami, cukup hijaumu yang kan selalu menyertai. di mana dan kapanpun kami pergi.
Malang, 28 November 2008
IBU, AJARKAN KAMI CINTA
kami tak tahu dari sperma siapa kami dilahirkan. kami tak ingin diberi tahu dari tangan siapa kami bisa kenyang. kami hanya mengerti di mana kami mengenal cinta. cinta yang ditertawakan. cinta yang dibenci hampir semua orang. kami tak sadar, bahwa tempat yang kami diami sekarang adalah tempat yang sungguh seram bagi mereka yang beriman. sekaligus tempat menyenangkan bagi mereka yang biasa berwirid di dalamnya.
ibu, kami ini hanya korban dari orang yang tak punya sayang. mereka hanya punya uang, tak punya yang lain. setelah besar nanti, kami akan tahu bahwa kami tak tumbuh karena cinta, tapi karena uang yang mereka selipkan di dadamu.
ibu, hanya kau harta satu-satunya yang dapat kami simpan. kami tak punya intan. tapi kami bangga karena punya ibu. ibu yang bisa mengajarkan bagaimana memahami cinta. kami ingin punya cinta, tak seperti cinta mereka pada tubuhmu. meski bagimu, kami hanyalah sampah yang kerap membuat mereka tak jadi balas cintamu. tapi kami tetap ingin kau tularkan ilmu cinta. agar kami waspada pada siapa saja yang sia-siakan cinta. jangan kau malu, karena kami cukup mengerti dengan keadaan hatimu. tak usah kau bosan, bila kami sering bertanya tentang ayah. ayah yang setiap hari datang. ayah yang setiap hari berganti wajah.
Malang, 28 November 2008
JATIDIRI # 291108
malam ini
ku temukan kembali
diriku
setelah
lama
tak berjiwa
Malang, 29 November 2008
WAKIL SAJA!
ku tak mau
jadi ketua
pilih
wakil saja!
ya,
wakil rakyat
memang
sungguh berwibawa
Malang, 29 November 2008
PELACUR KATA
ku ayuh sepi
sendiri
tanpamu
ku dayung
mimpi kecewa
karenamu
mungkin,
kau mucikari senja
makelar cinta
bersahaja
tapi,
ku tetap mau
jadi pelacur kata
setia
jajakan
tubuh piyuh
tuk raih
tinja hati mereka
Malang, 29 November 2008
SI KUALAT ATAU TITISAN REMBULAN?
wajah rembulan tersenyum kecut pada dirimu yang menciut. setelah kau urungkan niat sambut riang ibu tiri. ayah angkat memberi laknat, mengangkat cambuk tirakat. seakan semua mendoakanmu jadi si kualat.
hai lasmini…..! dari pada kau usir ibu tirimu yang bertebal lidah. atau kau caci ayah angkatmu yang sering berkerut dahi. lebih baik kau rayu si cantik rembulan. agar bisa kau rebahkan tubuh layu diranjang tua milik neneknya. agar kau bisa bercengkrama dengannya.
ya, kini setelah kau turun dari ranjang itu. sinar rembulan kerap tertidur di mata sayupmu. wah, kaupun terlihat pesona rembulan. sehingga ayah tirimu lebih puas mencercap sinar wajahmu dari pada berlama-lama memelihara paras istrinya.
ku tahu kau bukan anak yang didoakan semua jadi si kualat. karena semua tahu bahwa kau titisan rembulan yang selalu membawa sinarnya dimanapun kau berkelana.
Malang, 2 Desember 2008
KUTU CINTA & JERA ROSALINA
setelah ku
kembalikan
diarinya
Rosalina berkata
padaku:
"kau yang tlah sepi,
jelma kutu cinta
tak perlu juangkan
biru setiamu"
akupun terhenyak
dan menjawab
dengan
ngilu seribu:
"ya, ku
memang kutu,
tapi kutu
yang tak lemas
hanya
dengan jeramu"
RUH YANG KAU KIRIM
di riuh hujan kemarin
ada tawa sisa
menghampiri jalanan terbuka
kaukah itu?
atau hanya ruh
berkelabat dalam sesat
kecut, katanya
ketika melihatku
menunggui tungku cinta
jiwa berkulit jerami
rambut bercadar panas
gontai dan berlalu lalang
seperti tak ada
bulan yang pendar
sekujur zikir,
air mata sembilu
berkelakar
mencari si pemuja
hati menciut
denyut mengerut
ya, kini
ku tahu
ia hanya sebongkah ruh
yang kau kirim
untukku
demi kenangan
– tak bisa terurai
demi luka
terus menganga
di tepian senja
Malang, 7 Desember 2008
BINGKAI DINDING HATIKU
lembah dalam itu kau sematkan pada dinding hatiku yang ngilu. ku tahu bahwa memang ia bakhil kepada siapa saja. pun dengan jiwamu yang mulai mengeriput. sungguh, ia tak pernah sadar kalau ia butuh sejarah cinta, sebutuh aorta pada darahmu.
tulis saja surat wasiat !. agar ia belajar bosan dari perasaan. perasaan yang membuncah saat terdengar riuh gaung kepulangan jiwa pada si empunya. jangan biarkan ia jadi berkeras, sekeras batu sungai kehidupan. atau malah membenteng, jadi pusat serdadu rindu.
ya, dari dulu ia tak rela ditindas jiwamu yang katanya suka egois. karena sebenarnya ia lebih egois dari sifatku yang lahir bersama si raga. akupun telah lama berganti hati. karena tak cocok jadi pasangannya. ia punya seribu haus luka, tapi tak mau berkorban tawa.
sebelum ia membabat si sulung jiwa. ijinkan aku saja yang membungkam mulutnya, melubangi bata dan semen yang membungkus rangkanya. kan ku selipkan di dada kirinya sebungkus dendam dan sebutir peluru sembilu.
Malang, 9 Desember 2008
EUKARIOTA*
desiran ombak besar itu terdengar di lambungmu. kau sedang kembung atau mabuk lautan sunyi?. wah, ku makin iri saja denganmu yang tak pernah dirundung badai remah. wangi melur yang mambur menggiringku pada ilusi abadi. kelopak bunga teratai di depan rumah tak mampu larungkan luka yang telah lama kau gores di sukma.
mirip desau, pisau itu berkesiur mencari penjahat amarah. kau amuk, beku tubuhmu lukiskan kecemburuan. gigil nafasmu ceritakan sejarah kehidupan. remang yang kemarau sisakan serpihan ketakutan. bukankah kita tak pernah bercakap dengan sang waktu? sebenarnya darinyalah kita kumpulkan alur cerita yang paling lengkap.
barangkali harus kau baca surat-surat dari matahari. agar ia tak memarahimu besok subuh. aku cuma lelaki rendahan. yang hanya bisa mencapai tingkatan awam. tak usah kau rebah dalam heningku yang membatu.
* Eukariota = organisme tinggi yang sel-selnya mempunyai inti sel sejati.
Malang, 9 Desember 2008
LOWONGAN: PAWANG UDARA
udara manja menumpuk di kamar tidurmu. pasti ia tak rela bila sembur nafasmu bercampur dengannya. sehingga ia mati karena mengandung racun ilusi. syukurlah, aku yang mati sukma ini tak punya tega menyapu dan membuangnya di keranjang sampah.
sekalipun sang penyair, tak sudi merawat dan membersihkannya, sebab ia sari udara dari semua dosa. masuk di kamar penjaja surga, jenguk si bandar murka. (sebenarnya sang penyair punya peka luar biasa. tapi rasanya tak sanggup mencubit rasa udara yang begitu licin).
akhirnya, ku beli saja kertas putih dan ku tuliskan semua kesalahan sang udara dengan tinta emas. ku tempelkan di tiap pohon dan tiang yang berdiri tegak. agar semua tahu: ada lowongan pawang udara manja yang bersemayam di relung hatimu.
Malang, 15 Desember 2008
AKU & MATAHARI
aku dan matahari
melewati siang, menerjang angan
mematikan semua kelam
dan senyap
sebuah senja mengingatkanmu
padaku dan matahari
yang tak punya dekap
pada riang
dan kepingan rindu
anggap saja
aku dan matahari
membalut malam yang tua
dan gagang waktu
yang selalu patah
di setiap nyawa duka
ya, biarkan
aku dan dirinya
memburu bayang-bayang
sebelum pergi
tinggalkan terang
Malang, 23 Desember 2008
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
TERPESONA
sebungkus daun biru
kau letakkan di atas
meja tidurku
dengan secarik kertas
pembuat manja
setelah terbangun,
ku buka
dan ku resapi
artinya
daun biru,
kertas kelabu
sebuah arti bagi
pelangi cinta
di sayap rerindu
mimpiku terkunyah
karena biduk sasar
lekuk relief dinding tubuhku
ternoda pendar bulan
moga hatiku
tak juga mati
dan terkulai lemas
tercium bau
sajak pahit candumu
Malang, 23 Desember 2008
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
BERTAHAN
jika ini hari yang redup
coba kau terangi
dengan seberkas mimpi
sesobek jalan
mengantarmu pada riang
dan kecupan malam
mungkin kita sudah lupa
dengan laut kenang
meski terasa anyir
hirup saja udara
di depan rumah
agar bisa rasakan
nyanyian alam
kita kembali pada
hari yang dulu
pernah hilang
diterkam sunyi
juga gigil harapan
Malang, 22 Januari 2009
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
MENJADI DUA
saat pohon besar
menggelepar
angin lirih mengalir
membawa berita
dari bunga kamboja
peliharaanmu
aku telah dewasa
seperti yang kau minta
ibarat tubuh
tak mau peluh
laksana buih
enggan berbenah
cintamu,
kini kubelah dua
satu untuk si jiwa
sisa bagi si sukma
Malang, 22 Januari 2009
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
TERLALU
mengapa kau cecer dosa
pada pusaran rerindu
bukankah,
ku hanya ingin
memberimu
sebilah pisau
untuk menyayat
hatiku
Malang, 22 Januari 2009
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
KOTA SAKTI
gemuruh ombak
mengusir aroma raga
sisa raung
menghunjam di
telinga zaman
kuat
berwibawa
kota ini,
tak pernah mati
meski
diserbu ringkih,
selalu tampak
senda gurau
ingin rasanya
mencari rindang
pada pohonnya
yang tak kenal sumbang
sungguh,
kau adalah
rumah para pahlawan
dan pecundang
Malang, 22 Januari 2009
(puisi ini pernah dimuat di harian "Malang Post" edisi Minggu, 1 Maret 2009)
HANYA SELAMANYA
mengingatnya,
seperti terpanggang
di panas tubuhmu
mata yang tak berair
mulut yang tak berbusa
selalu merah
dan hitam
tak apa,
ku jadi tawanan
hanya sampai pada
petualangan
dan perjalanan
yang tak kunjung berakhir
Malang, 23 Januari 2009
PETUAH KUBURAN AYAH
bukan mereka yang
racun di pelupuk mata rembulan
bukan mereka yang
batu di riang gemunung
tapi rintik gerimis yang berkejaran
mencari hening dan senyap
sepucuk surat lusuh,
tersia-sia, terporak-poranda
wanginya mambur, mengoyak
anyir tubuh
ia hadiah ratmini 9 tahun silam
waktu ia merawat janinku
Priyono kecilku!
sebelum kau warisi pusaka sejati
kuburkan hadiah itu bersama tulangku
biar ayah bisa membacanya
setiap malam menggigil demam
Priyono kecilku!
bacakan dongeng purba
segalau rindu ayah pada anaknya
lantunkan lagu simpanan ibumu
di atas tumpukan
gelisah
pada nisanku ini,
tuliskan yang paling dalam dan rindang:
"ini ranjang pemulung mimpi,
jangan tega kau rapuhkan
atau jadi santap rayap jalanan!"
Malang, 28 Januari 2009
DARI YANG PALING CERCA
bukan tak berriang
ku jadi kenang
bukan tak bertubuh
ku jadi lumpuh
tapi karenamu
tak pernah bersajak
sajak cinta yang tulus
pada orang paling jalang
yang kau temu di jalan kelam
puing rindu telah berubah
jadi kidung pohon
gemerisik suaranya
membuat semua jadi warna
tapi,
apa kau tahu?
kalau jiwaku tak suka
tunda
nuraniku tak ingin
larut
pada akar kesunyian
selalu hitam dan sendirian
ku ingin kau
rebus rembulan
agar cahaya merasuk
ke relung terdalam
dari hatiku yang
selalu batu dan salju
Malang, 2 Pebruari 2009
BUI CINTA
pengapnya bui
kan jadi bukti
bahwa
ku tak pernah bual
pada cinta
yang kenyal
oh, Sariem
apa kau tak percaya
pada ibumu kini?
apa kau tega
mengubur angin rindu
yang bertiup dan berjingkat-jingkat
setelah ku alihkan
sepeda tua itu
mereka melebamiku
setelah ku rajut
mimpimu
ku terdampar
ke tepi paling sangar
ini hanya secuil
tulus
dari orang beringsut
pada dinding yang berkabut
tak usah
kau percaya pada
kesaksian
karena ia tak pernah jujur
padamu yang luruh
dan teduh
terimalah!
walau kau dalam kecewa
percayalah!
bahwa ku hanya
ingin kau bisa hirup
udara cinta
bersahaja
Malang, 2 Pebruari 2009
SOLILOKUI
ada darah di bajumu
itu
ada hitam di celanamu
itu
ada noda di topimu
itu
ada kotoran di sepatumu
itu
ada cair
dari rindu
yang membatu
ada onggokan sepi
pada dinding hati
yang kau curi
- dariku -
Malang, 2 Pebruari 2009
AKU YANG BARU
kau ingin aku. aku yang dulu. tapi ku tak bisa lakukan itu. aku sekarang adalah kini yang jauh. yang tak bisa kembali pada penjahat waktu. aku bukan lagi seperti kau tahu. aku hanya sepotong daging dan tulang lusuh. tak usah kau harap aku. aku yang sekarang tak sama.
jika kau masih harapkan aku. aku bisa mati karena tersiksa. karena nyawaku tinggal satu. nyawa yang tak lagi bisa bersua dengan keadaan. nyawa yang tak bisa kau kurangi lagi. kalau nyawaku turuti nafsu. ia akan berkorban demi kau. walau akhirnya harus kehilangan dirinya. tapi nyawaku tak suka berkorban. ia tak mau jadi abu. hanya karena ingin kau anggap pahlawan.
ah, sudahlah. mungkin kini saatnya kau pindah pada duniamu. dunia yang tak pernah kenal aku. dunia yang sudah hilang dariku. percayalah! di sana kau akan temukan aku yang baru. bukan aku yang selalu buatmu sembilu. pastikan kau lupakan aku. agar kaupun jadi baru. sebaru aku di duniamu. dengan begitu, kau dan aku akan lagi bercinta. cinta dua insan yang baru. insan yang lupa akan kesunyian. insan yang lupa akan kita yang dulu.
Malang, 2 Pebruari 2009
SAJAK SABUN MANDI
bang,
ku tahu besok hari terakhir
bertemu,
bercengkrama
sebelum mereka gosokkan
pada luaran
dan jiwa
ingin rasanya ku makan
sepi,
resah
bersamamu
aku yang paling budak
tak pantas
terima bebas
ada daki gelisah
berserakan
ada bangkai mimpi
ku pungut sendiri
tak usah kau bertangis
karena
punya gilir
esok hari
sapa sang sulung waktu
sendiri
tanpa buih bersih
memang semuanya bernoda
noda dosa si durjana
bersihkan celah-celah mereka
sampai bagian terdalam
elus rambut,
bulu tajam,
kuku macan,
jemari setan
ingat bang!
tugasmu hanya itu
tak usah
berlebih
usap peluh
cangkul jamur
berkerap tumbuh
agar tak menular
pada yang paling jelata
-seperti kita-
Malang, 5 Pebruari 2009
FANA
mungkin
jiwaku di sini tak ada
karena kau telah ada
sebelumnya
aku malas jika
kau jadi penikmat
tubuh piyuh
penuh ngilu,
jerit sendu
juga
enggan tenggak
ludah garammu
aha,
memang itu tak perlu
buat bilur-bilur nyawa
obat yang buat kita jadi
segalanya
segalanya ada
sepenuhnya tiada
Malang, 6 Pebruari 2009
DERING KEHIDUPAN
tut…. tut….. tut…..
dering pengingat meraung
memberi tanda:
kepingan cinta, bongkah nasib,
secuil cerca,
desah resah, jerit ngilu
seolah memberi
puas
merawat nafas
tut…. tut….. tut…..
dering perut melengking
bernyanyi:
lagu hina, irama senja
tapi kau masih saja
lebar telinga,
tangan terbuka
seolah semua
mengalir tanpa
dosa
Malang, 6 Pebruari 2009
BUKAN MATA KAKI
berjalan 2 meter ke kanan kau temukan istana abadi. berbelok 1 meter ke kiri kau lihat pemulung mimpi mendongak ke atas. ah, jangan kaki kananmu tak jalan berkiri. uh, tak kaki kirimu ikut nafsu belok berkanan.
kiri : emas
kanan : duri tajam
mata kaki ingin mengemudi tapi tak berbuat. ia masih terlihat gamang: jalan terus atau mundur saja ke belakang. mata kaki ingin melihat kakinya sendiri. tapi, kerap pula tergoda kaki-kaki tetangga yang lebih mulus dan bertenaga.
mata kaki bukan penentu arah. tapi, mata hati empunya amanah.
Malang, 6 Pebruari 2009
BERANJAK 7 TAHUN
Untuk: Bunga Tanjung
7 tahun adalah waktu yang lama
bagi pujangga untuk merangkai
kata-kata
7 tahun adalah masa yang panjang
untuk mengukir kembali
satu kenangan
7 tahun, penantian
yang melelahkan
bagi sang pemuja
untuk mendapatkan cinta
7 tahun, sungguh
membosankan
7 tahun, ibarat anak kecil
sudah bisa:
makan sendiri,
mandi sendiri,
pipis sendiri,
cebok sendiri,
mengeja,
mewarna,
bernyanyi:
"bintang kecil dan balonku ada lima"
7 tahun, ibarat mimpi
sudah bisa dinikmati
7 tahun,
usia anak
pisah dari ranjang bunda
: melatih mandiri
atau khawatir
ganggu ayahnya
7 tahun,
kalau seorang musisi
sudah bisa berkolaborasi
7 tahun,
kalau imam syafi'i
sudah mampu
menghafal kitab suci
ya,
7 tahun, sangat berarti
bagi perjalanan kami
mencari jatidiri
memang,
7 tahun, membuat kami
berpikir dua kali:
terus berjuang
atau tinggalkan baju perang
pengumumuman:
7 tahun,
akan jadi saksi
bahwa kami
bukan pecundang
7 tahun,
kawan
bimbing kami
menuju ridha Tuhan
Malang, 14 Pebruari 2009
HANTU PUTIH
hariku kini menyentuh langit. tiada lagi bisa dianggit. kecuali anak pembawa darah, berjejak kaki ayah. aku telah lama tak tenaga. semua lenyap berkeranda.
si rambut berumpat: putih. putih. aku tak rela tinggalkan hitam. walau penuh sunyi, muram. aku mau kembali pada dunia bayangan. dunia yang tak kenal putih. putih hanya berisik, menjerit, mengingat lagu ringkih. putih tak bisa diajak bersahabat, bercerita, adu nasib. ia tak pernah berjanji membawa berkas mimpi atau segebok lanskap purnama.
aroma rambut tak lagi hitam. hanya anyir menggeliat tajam, kejam. si kanan telinga mencubit kiri dengan memukul-mukul dadanya. mengerut dahi, menggeleng heran: kenapa si rambut menyerah, meratapi nasib. sambil menggaruk kepala, bertanya pada ubun-ubun yang telah lama berkencan dengan rambut: "padahal kan masih ada semir hitam di kamar belakang. ya kan?"
Malang, 19 Pebruari 2009
PRAJURIT AIR MATA
tahukah kau,
mereka hanya ingin
perutmu
yang tak pernah
dibalut waktu,
tak bisa dijamah
api rindu
curigakah kau,
mereka hanya tunggu
celanamu
yang tak pernah
punya saku belakang
hanya resleting, kancing, dan
wadah ikat pinggang
kini saatnya kau
unjuk:
tulang kuyu,
wajah layu,
tapi air matamu
pedang tajam
siap memecah
hening,
jadi riuh
pasar minggu
Malang, 19 Pebruari 2009
KELUH PEMABUK MIMPI
aku hanya seorang
pemimpi
berjalan dari gurun terjal,
membawa bekal:
sarung bantal
hai, jangan kau
ambil
itu milikku!
setiap hari
telan ludah,
berhimpit alis
melihatmu:
mencangkul kabut,
memetik embun,
menanam hujan
di ladang
yang kau rakit
dari tanah rerindu
Malang, 19 Pebruari 2009
PENGAMEN KECIL
setelah mondar-mandir
kesana-kemari
ia menyulut rokok
kelihatannya
bingung
memilih, mencari:
siapa yang pantas dimintai
sumbangan
satu jam kemudian
pengamen itu berjalan
ke arahku
rambut bersisir,
sepatu bersemir
pakai jas hitam,
dasi panjang,
celana licin
langsung diberondong
beberapa lagu sendu
akupun nyinyir
dan terhenyak:
"apa hanya karena penampilan,
kau memilihku?"
ia menyahut:
"aku tak tahu bang,
gitar ini yang mengajarkan
begitu"
Malang, 28 Pebruari 2009
OBEDIEN
hanya kera ini
yang sanggup
menemaninya
ketika
kehilangan istri
atau
rumah
diamankan
polisi
ia tak mau
bercerai,
malah makin mesra
dan sayang
tiap hari di alun-alun kota
ia tunjukkan keahlian:
berputar-putar,
memakai topi,
pergi ke pasar,
sawah, atau perusahaan
berdandan menor,
mencari pujian
yang tak ia dapatkan
dari majikan
entah kenapa
hari itu
ia berpikir lain
sambil mengangkat kepala
ia berteriak:
"hai majikan,
biar kau tak bosan
sekarang gantian
kau jadi artisnya
aku yang hitung uang"
Malang, 28 Pebruari 2009
BINGKISAN CELANA DALAM
sebenarnya
aku tak ingin
celana dalam itu
kau kembalikan
padaku
karena
selama ini
hanya dia
yang mau mengingatkan
pada relung mimpi
dan sajak-sajakmu
kau merasa tertekan
karena sudah
2 tahun, 3 bulan
merawat malunya
di hari
ulang tahunku
kau hadiahkan
satu bingkisan
terindah
setelah ku tahu
isinya,
akupun merasa tenang
kini,
celana dalam itu
tak punya malu
sehingga
aku bisa memakainya
lebih leluasa
Malang, 28 Pebruari 2009
EX MERA NOTU
seperti kemarin
kau pandangi lagi
mataku yang tak
pernah mau menurut
apalagi
tersenyum
terus terang
ia sekadar
mengeluarkan air
ketika
kau kirim
sebongkah sunyi
pada ringkih
yang menginap
bertahun-tahun
di dada kiri
mengalahkannya
berarti menganggapku
- pendosa -
menggunjingnya
suatu kesempurnaan
bagimu
yang tak mau
angkuh
pun ia bosan
berlumpuh
hanya pada
pecandu jiwa
sepertimu
Malang, 2 Maret 2009
REGOL MATA
apa karena debu ini
kau menghardik
kakiku?
sebenarnya
ia hanya berharap
kau mau mengobati
matanya
yang telah lama
tak mengenalmu
Malang, 2 Maret 2009
OBITUARI JIWA
sungguh,
aku tak ingin keningmu
bergaris senja
sebelum kau tebarkan
gerigi jagungmu
pada filusuf tua
dan pemburu manja
kau ini
pegawai gadai yang lemah
bisa bertingkah
bila si empu tak rela
merawat atau menyimpan
di keranjang sampah
Malang, 2 Maret 2009
- pernah dikirim ke harian " Sindo"
CANDU TABANA
biarkan pena ini
memeras peluh dan darahnya
karena badanku
tak sanggup lagi mencium
aroma wangi tubuhmu
tinta mutiara menggeliat
ingin sekali ia hunuskan pedang,
memecah sejarah,
mengelabui mimpi,
mencuri resah
setahun lalu
kau bujuk dia
menulis surat untuk matahari
surat yang berkabar ombak laut
memakan 7 anak kecil,
berita perut yang
berlauk lapuk rindu,
asap kota yang
menganga, mengotori
dada kiri para petani desa
di harimu yang senja
ku ingin ia kembali padamu
ku bungkus pena itu
dengan kertas kristal dan pita merah
aku sudah tak tahan
melihat malamnya selalu sembab
pun di subuhnya yang batu
ia kerap berbisik renyah:
"setahun ini,
badanku patah semua
ku ingin kembali
kerja pada majikanku dulu
yang tak punya lelah
dan rambut putih"
Malang, 4 Maret 2009
MAKAMAT FANA
mengenangmu
berarti menyimpan sunyi
pada kering bebatuan
menyebutmu
sama saja membuang
batang mimpi
di jurang kesahajaan
tangga itu
tak ubahnya dirimu
yang selalu jadi obyek peraduan
semakin tinggi pendakian
semain tunjukkan
perkasa, wibawa
badanku yang tulang ini
lebih memilih rendah
dan jadi cerca
daripada raih kekar
tapi penuh tinja
kesempurnaan
bukan segala
tapi satu capaian
yang akan hilang
dengan sendirinya
Malang, 4 Maret 2009
Kamis, 05 Maret 2009
PUISI
Kamis, 05 Maret 2009
2
Label:
Sastra
Langganan:
Postingan (Atom)